Berbicara mengenai kontrak bisnis sepertinya tidak ada habis-habisnya. Sebab bila kita rajin mengamati pem-beritaan media khususnya kolom bisnis dan ekonomi, niscaya ada saja masalah yang terkait dengan kontrak yang dilakukan para pihak. Kali ini kita mengamati aspek ekonomi dari suatu kontrak bisnis, setelah pada Warta Pertamina terbitan Januari 2007 yang lalu kita telah mem-bicarakan “Kontrak Bisnis dan Akibat Hukum-nya”. Sesuai dengan namanya, kontrak bisnis, tentu wajar saja bila aspek ekonomi mendapat perhatian yang besar dalam pembahasan dan analisisnya.
Harian Kompas (Jumat, 19 Januari 2007) pada kolom Bisnis & Keuangan menurunkan berita tentang permintaan negosiasi ulang oleh sebuah perusahaan - sebut saja PT X - kepada PT Y. Secara singkat demikian ceritanya: Suatu ketika PT X mengikat perjanjian penjualan gas ke PT Y, dengan harga yang sudah ditetapkan. Penjualan ini sendiri akan direalisasikan bila proyek pipa gas ini telah selesai. Menurut jadwal akan selesai Juni 2006. Ternyata pipa tersebut tidak selesai tepat waktu. Rupanya pipa tersebut adalah milik PT Y. PT X merasa dirugikan karena keterlambatan penyelesaian pipa gas tersebut. Kerugian utama adalah ka-rena dengan pemasukan yang masih 0 (nol) di-mana gas belum ada yang dialirkan, PT X sudah harus membayar bunga utang dan cicilan ke Japan Bank for International Cooperation (JBIC) sejak 1 Juni 2006. .
Atas kerugian yang dialami PT X tersebut mereka meminta kepada PT Y untuk melaku-kan negosiasi ulang terutama untuk negosiasi harga. Karena argo pembayaran PT X sudah jalan sejak 1 Juni 2006, sementara pemasukan masih nol maka PT X merasa dirugikan. Di lain pihak PT X mengetahui bahwa PT Y menjual gas yang dibeli dengan harga jauh di atas harga yang telah ditetapkan dalam kontrak . Ternyata permintaan PT X ditolak oleh PT Y. Ala-sannya, keterlambatan hanya berdampak pada denda dan kesanggupan menyerap pasokan gas (take or pay). Menurut PT Y, sesuai kesepakatan kontrak, akibat keterlambatan proyek, PT Y harus membayar denda sebesar jumlah tertentu (dalam dollar) untuk periode 60 hari dari saat pertama gas seharusnya mengalir (1 November 2006 - 30 Desember 2006). Di luar masa terse-but PT Y hanya dikenai kewajiban take or pay atas ketidakmampuannya menyerap minimal 80 persen dari pasokan gas yang seharusnya.
Adakah yang salah dalam kontrak bisnis antara PT X dengan PT Y tersebut? Mungkin tidak. Paling tidak secara formal kita menduga begitu, setidaknya dengan keterbatasan infor-masi yang kita dapat dari membaca koran. Kita toh tidak tahu isi kontraknya secara lengkap. Terlepas dari apapun isi kontraknya, ada pe-lajaran yang patut kita ambil dari kasus ini, khususnya bagi pihak-pihak yang sering terlibat dalam kontrak. Pada artikel “Kontrak Bisnis dan Akibat Hukumnya” (WP, Januari 2007) penulis sudah menyinggung sedikit tentang hal ini. Untuk setiap kontrak bisnis, sebaiknya melibatkan pihak-pihak terkait dan multidi-sipliner.
Jadi kalau kontraknya tentang jual-beli, perlu melibatkan analis keuangan yang akan menghitung sisi potensi laba-rugi akibat klau-sul kontrak. Untuk kasus di atas, misalnya bila pembayaran dengan minyak mentah kelas satu, bukankah lebih banyak ruginya karena minyak mentah cenderung terus naik? Bukankah ini sama dengan hedging? Apalagi bila minyaknya dengan spesifikasi kelas satu? Kemudian be-sarnya penalti, apakah sudah seimbang dengan kerugian yang diterima pemasok? Lalu lamanya penalti (60 hari) apakah sudah merupakan hal yang terbaik, untuk selanjutnya digantikan oleh kewajiban take or pay?
Secara hukum memang sulit untuk me-maksa PT Y untuk melakukan negosiasi ulang, kecuali ditemukan fakta bahwa proyek pe-nyelesaian pipa gas tersebut sengaja diper-lambat oleh PT Y. Bila cukup bukti untuk itu maka PT Y bisa digugat karena tidak beritikad baik dalam menjalankan prestasinya. Jika tidak, tentu mereka akan bertahan dengan isi kontrak karena menguntungkan pihaknya. Negosiasi kontrak untuk merevisi harga memang dimung-kinkan —walaupun harus melalui pengadilan — bila dapat dibuktikan bahwa harga yang di-sepakati ini jauh dibawah harga yang berlaku untuk kontrak-kontrak sejenis di Indonesia.
Pengalaman ini harus membuat para peran-cang kontrak harus lebih hati-hati dalam membuat kontrak bisnis. Kontrak bisnis bukan sekedar formalitas pengikatan atau sekedar bukti adanya perjanjian antara para pihak yang melakukan kegiatan bisnis. Kontrak bisnis bisa juga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berniat curang dalam bisnis dengan cara me-muat klausul-klausul yang menguntungkan pihaknya. Tanpa ada yang berniat curangpun, para pihak harus hati-hati karena pihak lawan akan mengamankan posisinya bila terjadi sengketa (dispute). Jadi masing-masing pihak harus mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi secara lebih cermat. Apalagi untuk pro-yek-proyek besar harus ekstra hati-hati. Perlu dilakukan review beberapa kali terhadap draft kontrak oleh tim atau beberapa individu yang berbeda-beda. Harus ditanamkan dalam ingat-an bahwa sekali kontrak ditandatangani maka kesempatan untuk merevisi atau negosiasi ulang sudah tidak dimungkinkan lagi. Business is business (meminjam ungkapan Paman si Said dalam serial Bajaj Bajuri).
Sebetulnya kontrak bisnis itu bisa bercerita banyak tentang hal-hal yang diperjanjikan. Bila para pembuat kontrak cermat dan teliti akan terlihat bahwa aspek-aspek yang diperjanjikan bisa direpresentasikan dengan jelas, demikian pula potensi untung-rugi dan potensi sengketa-nya. Jadi selain cermat dan teliti, para pembuat kontrak khususnya kontrak-kontrak besar dan internasional harus mempunyai seni membuat kontrak dan perasaannya sudah menyatu de-ngan obyek yang diperjanjikan. Lebih baik lagi bila seorang pembuat kontrak mempunyai visi bisnis yang baik sehingga dengan mudah untuk bisa mengetahui secara detail arah dari proyek yang sedang digarap. Adanya visi bisnis yang baik biasanya membuat seseorang lebih menya-tu dengan proyek di mana yang bersangkutan turut terlibat.
Agar tidak mengalami kerugian bila terjadi sengketa, sebelum membuat kontrak lakukan-lah hal-hal berikut untuk mengatasi kerugian akibat sengketa (dispute) pada obyek bisnis da-lam kontrak:
1. Analisislah potensi untung-rugi dan analisa ekonomi terhadap obyek yang diperjanjikan. Hal ini perlu dibahas oleh tim.
2. Buatlah peta proses bisnis terhadap obyek yang diperjanjikan dalam kontrak secara detail.
3. Berdasarkan hasil pemetaan diatas, buatlah analisis pada masing-masing elemen apakah ada potensi sengketa (dispute). Bila ada, masukkan kedalam daftar potensi dispute.
4. Bila semua elemen telah selesai dianalisis dan semua potensi dispute sudah masuk dalam daftar dispute, maka lakukanlah analisis oleh tim lain. Tujuannya adalah sebagai verifikasi sekaligus second-opinion.
5. Apabila semua potensi sengketa telah final dan disepakati, buatlah alternatif-alternatif untuk mengantisipasi dispute tersebut. Al-ternatif-alternatif yang ada bisa bermacam-macam, dari menghindari terjadinya dispute sampai dengan menghadapi pihak lawan dan menghindari potensi kerugian.
Sebagai contoh sederhana, kita ambil saja berita koran yang telah kita bahas di atas.
1. Potensi untung-rugi: data yang ada tidak cukup bagi kita untuk membahasnya. Paling tidak, jumlah pendapatan harus lebih besar dari modal dan lebih besar dari bunga bank.
Analisa ekonomi:
- berapa harga jual gas yang tepat?
- apa dasar yang digunakan untuk menen-tukan harga jual?
- harga jual itu fix atau bervariasi?
- bila didanai dengan utang, berapa cicilan dan bunga yang feasible?
- proses pembayaran dengan minyak mentah apalagi dengan spesifikasi kelas satu apakah sudah menguntungkan secara ekonomi? bukankah yang dilakukan JBIC ini sama dengan hedging?
2. Pemetaan proses bisnis
3. Potensi dispute:
- Bagaimana bila pipa tidak selesai tepat waktu?
- Bagaimana bila pipa telah selesai tetapi gas belum bisa mengalir?
- Bagaimana bila PT X yang tidak siap untuk mengalirkan gas secara tepat waktu?
- Bagaimana bila PT X terlambat atau tidak sanggup mencicil kepada JBIC secara tepat waktu?
- Bagaimana bila pengiriman minyak tidak sampai ke Jepang tepat pada waktunya?
4. Bila semua yang ada pada point 3 telah disepakati, maka dimasukkan ke dalam daftar dispute.
5. Solusi alternatif
Bila pipa tidak selesai tepat waktu maka gas tidak bisa dialirkan tepat waktu sesuai kontrak. Solusinya adalah (misal-nya): penalti dan take or pay. Hitunglah berapa nilai penalti yang tepat agar PT X tidak rugi. Tentukan pula periode untuk penalti dan take or pay.
Bila PT X terlambat membayar cicilan, apa konsekwensinya? Berapa besar potensi resikonya? Apakah konversi US $ ke minyak dengan spesifikasi kelas terbaik tersebut tidak memberi potensi keuntungan bagi pihak Jepang dan po-tensi kerugian atau turnnya keuntungan bagi PT X karena harga minyak mentah apalagi minyak kelas atas cenderung naik terus? Bila PT X terlambat mengirim minyak apa akibatnya, seberapa besar penaltinya? Apakah besarnya penalti itu wajar? Apakah bunga yang harus dibayar wajar bila dibandingkan dengan hal yang sama di negara lain?
Potensi sengketa (dispute) yang kita bahas di atas barulah yang langsung ke obyek perjanjian secara ekonomi. Potensi dispute yang lain masih ada dan mungkin banyak lagi misalnya, pilihan hukum dan pilihan forum serta pilihan tempat beracara. Hal ini pun harus masuk dalam analisa ekonomi. Misalnya obyek yang diperjanjikan di Indonesia, menggunakan hukum Indonesia, tetapi pilihan forum menggunakan ICC atau ICSID, lalu pilihan tempat beracara di kota lain, sebutlah misalnya Geneva atau London. Biaya untuk mengurus sengketa ini harus dihitung secara cermat. Kadangkala hal ini kurang mendapat perhatian. Malah kadang-kadang tempat beracarapun belum ditentukan secara jelas dalam kontrak.
Contoh pilihan tempat beracara yang tidak jelas dapat kita lihat pada kontrak PSC Pasal 12.5, dalam versi bahasa Inggrisnya yang saya kutip sesuai dengan aslinya sebagai beri-kut:
Arbitration shall be conducted in the English Language at a place to be agreed upon by both Parties an in accordance with the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Com-merce.
Kalau sengketa sudah terjadi apa bukan merupakan hal yang sulit untuk mencapai kesepakatan untuk menentukan tempat ber-acara? Akibatnya, dan masing-masing pihak cenderung mencari tempat penyelesaian sengketa semakin lama yang lebih dekat ke negaranya. Hasilnya biayapun bertambah. Kontrak di atas memang kontrak baku. Bayang-kan bila perusahaan yang menjadi PSC tersebut adalah perusahaan Indonesia, obyek sengketa-nya pun di Indonesia, lalu terjadi sengketa. Untuk mengurus administrasi sengketa harus bolak-balik ke Paris, kantor pusatnya ICC (International Chamber of Commerce). Lalu tempat beracaranya dirundingkan. Pihak tergu-gat mungkin akan buying time dengan mengulur-ulur tempat berunding. Katakanlah bila akhirnya dipilih Montreal di Canada, sebagai tempat beracara. Berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan seng-keta yang terjadi? Padahal semua hal-hal yang terkait dengan sengketa ada di Indonesia. Se-cara hukum perdata internasional, hal ini memang pantas dipertanyakan, tapi begitulah jadinya.
Semoga tulisan singkat ini bisa menggugah para perancang kontrak atau para pihak yang akan menandatangani kontrak bisnis agar lebih cermat dalam melakukan analisa ekonomi, serta lebih hati-hati. (Gilbert Hutauruk - SBTI-Direktorat Umum & SDM )
http://www.pertamina.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3014&Itemid=748
media2bfree.blogspot.com
2 komentar:
alhamdulillah nemu blog ini..mksi mas tuk info ny..
bisa tuk jadi referensi..
apakah saya bisa meminta link untuk kasus y pak?
Posting Komentar