Tk Masak mencoba memahami, konstruksi hukum versi penyidik Polri dalam menetapkan Chandra dan Bibit sebagai tersangka.
Berikut kutipan pasal-pasal tersebut:
Ps. 23 UU 31/1999 jo UU 20/2001
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sbgmn dimaksud dalam Pasal 220, 231, 421, 422, 429 atau 430 KUHP, dipidana dgn pidana penjara paling singkat 1 th dan paling lama 6 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50juta dan paling banyak Rp300juta
Ps. 421 KUHP
Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang utk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
Ps. 12e UU 31/1999 jo UU 20/2001
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200juta dan paling banyak Rp1milyar:
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan keuasaannya memaksa seseorg memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau menerima pembayaran dgn potongan, atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.
Kemungkinan besar penyidik Polri berpendapat bahwa Bibit dan Chandra, sebagai pimpinan KPK yang membawahi bidang Penindakan, telah menyalahgunakan kewenangannya dengan melakukan pencekalan terhadap Anggoro dan Joko Chandra, tanpa melibatkan pimpinan KPK lainnya. Dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a UU 30/2002 ttg KPK disebutkan bahwa Pimpinan KPK yg terdiri dari 5 anggota KPK. Ayat (2) nya menyebutkan bahwa Pimpinan KPK sbgmn dimaksud pd ayat (1) huruf a disusun sbb: a. Ketua KPK merangkap anggota; dan b. Wakil Ketua KPK terdiri atas 4 orang, masing-masing merangkap anggota.
Sedangkan dalam ayat (5) disebutkan bahwa Pimpinan KPK sbgmn dimaksud pd ayat (2) bekerja scr kolektif. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dgn “bekerja scr kolektif” adlh bhw setiap pengambilan keputusan harus disetujui dan diputuskan secara bersama-sama oleh Pimpinan KPK. Nah kemungkinan penyidik Polri menggunakan pasal-pasal ini untuk menjerat Bibit dan Chandra sebagai tersangka. Di detik.com dijelaskan pimpinan KPK menyatakan bahwa setiap keputusan selalu didahului dengan mekanisme rapat oleh pimpinan. Namun kemungkinan besar Antasari membantah mekanisme tersebut, khususnya dalam penetapan Anggoro dan Jok Chandra sebagai tersangka. Karena tanpa kesaksian Antasari, rasanya Polri tidak punya alat bukti yang cukup untuk menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka.
Sepenuhnya soal pelanggaran wewenang ini, terbukti atau tidak, pihak kepolisian akan menyerahkan sepenuhnya di pengadilan namun dampak yang tidak diperhatikan sama sekali oleh Polri bahwa dgn penetapan sbg tersangka maka pemberantasan korupsi akan “collapse”. para koruptor akan berpesta pora.
melihat institusi penegakan hukum yang saling bersiteru .
Sampai saat ini juga belum ada aturan yg mengatur, jika pimpinan KPK di pengadilan nanti bebas demi hukum, bagaimana status mereka yg telah diberhentikan pada saat mereka menjadi terdakwa?
Di samping itu, patut dipertanyakan juga, kewenangan Polri menilai kewenangan (penafsiran kewenangan) lembaga lain. Bukankah hal tsb harus diselesaikan via Mahkamah Konstitusi?
tkmasak
www.dukungkpk.com
http://dukungkpk.com/?p=3
media2bfree.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar